PONDOK PESANTREN NGIJON PERTIWI

Sebuah Pondok Pesantren yang berkonsentrasi pada pendidikan al-Qur'an. Meliputi; Tahsin, Tahfidz dan Tafsir al-Qur'an. Dibina oleh para hafiz dan hafidzah.

Kamis, 14 Februari 2008

TASAWUF ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD

Resume Desertasi
283 halaman
TASAWUF ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD
Karya: M. A. Achlami HS
Oleh: M. Thohar Al Abza


A. PENDAHULUAN
Dalam perkembangannya, tasawuf dapat dijelaskan melalui tiga tahap; pertama, tasawuf akhlaqi yakni penyucian jiwa dan pembinaan akhlaq melalui amal shaleh. Kedekatan dengan Tuhan hanya sebatas etika, kedua, tasawuf irfani, yakni tahap rasa penghayatan dan pengalaman batin seorang sufi tentang hubungannya dengan Tuhan, namun masih sebatas hubungan cinta dan ma’rifah. Tasawuf ini banyak diterima dan diminati oleh mayoritas sunni, sehingga disebut tasawuf sunni, ketiga, tasawuf pada tahap persatuan antara seorang sufi dengan Tuhannya, tasawuf ini disebut dengan falsafi, yakni model tasawuf yang memadukan antara visi mistis dan visi rasional.
Kemudian dalam polarisasinya, tasawuf secara garis besar dapat dibagi menjadi dua corak; sunni dan falsafi. Selain itu ada juga corak tasawuf yang mengambil bentuk tarekat.
Dalam perkembangannya, tasawuf model tarekat semakin merebak dan diminati oleh masyarakat awam, sehingga tidak sedikit yang menelan secara mentah-mentah ajaran syekh tarekat dan berakibat pada fatalisme praktis dan apatis terhadap kehidupan sosial, sehingga ini disinyalir sebagai faktor penyebab kemunduran Islam. Benarkah ajaran tasawuf membawa sikap dan paham fatalisme, yang menjadi penyebab kemunduran umat Islam?
Dalam konteks perkembangan tasawuf di atas, ajaran yang dikembangkan oleh Al Haddad berdasarkan Al Qur'an dan al Sunnah serta amaliah salaf al shalih, yaitu para sahabat dan tabi'in
Karya ini mencoba menelaah beberapa masalah pokok tentang corak ajaran sufisme dari Abdullah Al Haddad dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan beragama di Indonesia khususnya dalam perkembangan sikap dan paham fatalisme di kalangan masyarakat.
Secara metodologis penelitian yang digunakan dalam tradisi ini adalah penelitian kepustakaan, dengan pendekatan historis-sosiologis. Karena obyek material penelitian ini berkenaan dengan pemikiran seorang tokoh melalui karya-karyanya pada masa lalu dengan melihat kondisi politis dan sosial yang melatar belakangi kehidupannya. Sumber yang dipergunakan adalah publikasi tentang Al Haddad, baik berupa sumber primer maupun skunder. Sumber primer berupa karya-karya Al Haddad sendiri, sedangkan sumber skunder berupa karya-karya yang ditulis oleh orang lain mengenai Al Haddad, dan sumber lain yang relevan dengan penelitian ini.

B. BIOGRAFI ABDULLAH BIN ALWY AL HADDAD
1. Kondisi Internal
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Alwy bin Muhammad bin Ahmad Al Haddad Ba’ Alwy Al Husainy. Ia lahir pada bulan Shafar 1044 H/ 1636 M di Subair, pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Ayahnya adalah seorang yang saleh keturunan orang-orang saleh. Ibunya, Salma bin Umar adalah seorang salehah dari kelurga kewalian dan ahli ma’rifah.
Nasab lengkapnya adalah Abdullah bin Alwy bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Abdurrahman bin Alwy bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidillah bin ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al ‘Uraidli bin Ja’far Al Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husain bin Fathimah binti Rasulillah SAW.
Pada usia empat tahun ia terserang penyakit cacar dan berakibat pada kebutaan. Namun, ia hafal Al Qur’an sejak usia kanak-kanak. Sejak usia muda pula ia gemar menuntut ilmu, beribadah dan melakukan riyadlah. Ia adalah sosok sufi, da’i dan sastrawan yang sangat produktif. Pada malam selasa, 7 Dzul Qa’dah 1132 H/ 1724 M, ia wafat dan dimakamkan di kota kelahirannya, Tarim.
2. Kondisi Eksternal
a) Kondisi Politik dan Pemikiran
Hadramaut, khususnya kota Tarim dikuasai oleh Dinasti Al Rasyidy dari keluarga Bani Qahthan, salah satu dari qabilah Himyariyah tahun 400-700 H/ 1010-1301 M. Dinsati ini bermadzhab sunni, yakni Syafi’iyah di bidang fiqh dan Asy’ariyah di bidang aqidah. Ketika Yaman dikuasai oleh Bani Ayyubiyah (569-626 H/ 1174-1229 M), kemudian digantikan oleh Dinasti Rasuliah, dakwah aliran sunni terus berkembang. Dalam bidang pemikiran, wilayah Hadramaut telah dimasuki aliran khawarij sekte Ibadiah dan Syi’ah sekte Zaidiyah dan Ismailiyah. Tetapi mereka lebih terfokus pada kancah politik. Sehingga yang menjadi mayoritas tetapi sunni dan aliran tasawuf yang masuk pun adalah sunni.
b) Perkembangan Intelektual
Pusat perkembangan intelektual di Hadramaut yang paling penting adalah kota Tarim. Di kota ini tempat berkumpulnnya para pelajar, ulama’, sastrawan, dan para tokoh lainnya. Mereka datang dari berbagai penjuru wilayah Hadramaut, seperti ‘And, Shan’a, Zabid, dll. Di kota Tarim berkumpul 300 mufti, dan dari kota inilah perkembangan intelektual menyebar ke kota-kota lain seperti Syabam, Hijrin, dan Syahr.
3. Karya-Karya Al Haddad
Karya-karya Al Haddad sebagai berikut: Kitab Al Nafa’is Al Uluwiyyah Fi Al Masaa’il Al Shuufiyah, Al Hikam, Risalat Al Mu’awanah Wa Al Mudzaharah Li Al Raghibin Min Al Mu’minin Fi Suluk Thariq Al Akhirah, Al Washaya AL Nafi’ah, Kitab Al Fushul Al Ilmiyah Wa Al Ushul Al Hikamiyyah, Ittihaf Al Sa’il Bi Jawab Al Masa’il, Kitab Sabil Al Iddikar Wa Al I’tibar Bima yamurru Bi Al Insan Wa Yanqadhi Lahu Min Al A’mar, Risalat Al Mudzakarah Ma’a Al Ikhwan Wa Al Muhibbin Min Ahli Al Khair Wa Al Din, Risalat Al Murid, ‘Aqidat Al Islam, Al Nasha’ih Al Diniyah Wa Al Washaya Al Imaniyah, Al Durr Al Manzhum Li Dzawi Al ‘Uqul Wa Al Fuhum, Adda’wah Al Tammah Wa Al Tadzkirah Al ‘Ammah, Jami’ Al Makatibat, Ratib Al Haddad, Al Wird Al Lathif, Hizb Al Fath Wa Al Nashr.

C. AJARAN TASAWUF ABDULLAH BIN ALWY AL HADDAD
Dasar Pemikiran Al Haddad di Bidang Tasawuf
Al Haddad mempertautkan komponen-komponen dasar ajaran Islam; islam, iman, ihsan dalam ajaran tasawufnya. Ia menjelaskan bahwa syari’at itulah Islam, yaitu bersikap tunduk dan patuh kepada Allah. Hakikat adalah iman dan yaqin, yaitu ikhlas kepada Allah. Sedangkan ma’rifat adalah ihsan, yaitu fana’ dengan dan dalam keabadian Allah.
Al Haddad dalam bidang tasawuf merujuk kepada Al Qur’an dan Al Sunnah serta praktek amaliah al salaf al shalih. Turut mendasari pula mazhab fiqh Al Syafi’I dan aqidah Ahlu Al Sunnah Wa Al Jama’ah (Asy’ariyah) dalam mewarnai corak tasawufnya. Ia juga mempertautkan ajaran tasawufnya dengan aqidah dan syari’ah.
Ajaran tasawuf yang dikembangkannya bersifat akomodatif dan inklusif. Akomodatif artinya memberikan kebebasan kepada seseorang untuk memilih tingkatan tasawufnya sesuai dengan kemampuan masing-masing, sedangkan inklusif artinya tidak terdapat ajarannya yang ganjil. Ajarannya dapat diterima dan iamalkan oleh mayoritas kaum muslimin. Demikian pula ajaran ini tidak melepaskan diri dari tanggung jawab sosial. Hal ini dapat dipahami, karena ia sendiri adalah seorang da’i.
Hubungan Antara Syari’at dan Hakikat
Syariat yang mengambil bentuk fiqh dalam membahas Al Qur’an dan Al Hadits, cenderung menggunakan ratio dan logika akal, serta secara lahiriyah mengikuti praktek Nabi SAW dalam membuat ketetapan hukum. Sedangkan hakikat yang mengambil bentuk tasawuf, cenderung menggunakan rasa dalam mengamalkan Al Qur’an dan Al Hadits, selain mengikuti praktek kehidupan Nabi SAW. Hakikat yang dikendaki oleh Al Haddad adalah yang tidak keluar dari pengamalan syari’at. Begitu pula pengamalan syari’at tidak boleh berhenti sebatas formalitas belaka. Jadi, syari’at merupakan jalan menuju hakikat.
Ajaran Tentang Maqamat dan Ahwal
Al Haddad sebelum menjelaskan Maqamat dan Ahwal, ia membagi ahwal ke dalam dua bagian. Pertama, ahwal sebagai kondisi batin yang dialami oleh seorang salik dalam keadaan yang belum mantap, maka itu disebut maqam. Ahwal dalam arti ini dapat diperoleh melalui ilmu, sebab ilmu dapat membuahkan hal dan hal dapat membuahkan maqam. Kedua, ahwal sebagai limpahan karunia Tuhan yang mulia (Al Waridat Al Syarifah) ke dalam hati yang dipancarkan oleh cahaya riyadlah dan mujahadah, seperti rasa intim (al uns), kegaiban (al ghaibah), tidak sabar (al sakr), dan rasa bergabung (al jam’). Ahwal dalam arti kedua merupakan anugerah Tuhan yang datang sekonyong-konyong.
Pada setiap maqam, menurut Al Haddad ada tiga unsur, yaitu ilmu, hal dan amal. Ilmu akan membuahkan hal, dan hal akan membuahkan amal. Konsistensi dan kemantapan ketiga unsur tersebut pada setiap maqam tertentu menunjukkan bahwa ia telah mencapai maqam itu. Al Haddad mengatakan sembilan maqamat tanpa menyebut jumlah ahwal secara rinci;
a. Taubat: dosa kepada manusia dan kepada Tuhan bisa dibersihkan dengan taubat. Dosa kepada manusia, taubatnya harus meminta maaf kepada orangnya atau menebusnya dengan menyelesaikan urusannya terlebih dahulu kepada orag lain, yang ia berbuat dosa kepadanya.
b. Raja': ialah ma'rifat hati akan keluasan rahmat Allah, keagungan karunia dan kebaikanNya, dan keindahan janjiNya bagi orang yang taat kepadaNya. Ma'rifat seperti ini akan menumbuhkan rasa optimis terhadap rahmat Allah dan keagungan karuniaNya.
c. Khauf: ialah ma'rifat hati akan keagungan Allah, keperkasaan, dan ketidak butuhanNya kepada makhluk, serta pedihnya azab yang diancamkanNya kepada siapa saja yang membangkangNya. Khauf dan raja' adalah dua maqam yang saling terkait dan melengkapi satu sama lain. Maqam raja' akan mendorong seseorang untuk bersemangat taat kepada Allah, sedangkan maqam khauf mendorong seseorang untuk bersemangat untuk meniggalkan segala laranganNya.
d. Sabar: ialah menahan diri dari kecenderungan hawa nafsu dalam menghadapi sesuatu yang menjadi persoalan hidup seseorang berupa perintah dan larangan Allah SWT, berupa musibah yang menimpanya dan atau berupa hal-hal yang akan menjauhkan seseorang dari Allah.
e. Syukur: seorang hamba yang ditimpa musibah harus tetap mendahulukan syukur daripada sabar. Namun demikian antara sabar dan syukur sebenarnya tidak terjadi tumpang tindih ketika seorang hamba harus menyikapi kondisi yang dialaminya.
f. Zuhud: ialah ma'rifat hati akan rendah dan hinanya nilai dunia. Sehingga hati sudah tidak tertarik lagi kepada dunia. Al Haddad menekankan bahwa yang dimaksud dunia adalah harta dan kedudukan.
g. Tawakkul: ma'rifat hati bahwa segala sesuatu berada di tangan Allah SWT, baik yang bermanfaat maupun yang madlarat.
h. Cinta: kecenderungan hati seorang hamba kepada Allah dan perasaan adanya hubungan yang erat denganNya, serta bertuhan hanya kepadaNya Yang Maha suci, Maha Tinggi, puncak dari kesucian dan keagungan. Kecintaan ini hanyalah dicurahkan kepadaNya.
i. Rela: ialah rela menerima ketentuan dari Allah SWT dengan senang hati; baik yang diterimanya itu sesuatu yang disukai atau tidak. Namun ajaran ini tidak membawa pada sikap fatalisme, karena tetap ada ikhtiar, kasb dan do'a.
Selain sembilan maqamat di atas ada beberapa ajaran yang berkaitan dengan maqamat dan ahwal, tetapi oleh Al Haddad tidak dimasukkan; Niat baik dan ikhlas (ishlaah al niat wa al ikhlas), Merasa diawasi (muraqabah), Menjaga diri (al wara'), Mengingat mati (dzikul maut), Yakin (al yaqin), Mengenal Allah (Al Ma'rifah), Al Fana' dan Al Baqa', Al Jam' dan Al Farq.
Ajaran Tentang Macam-Macam Wirid
a. Wirid berupa shalat-shalat sunat. Al Haddad menekankan pada shalat sunat rawatib, shalat witir, shalat dluha, dan shalat malam. Pada bagian lain ia juga mengungkapkan, juga shalat tasbih dan shalat di antara maghrib dan isya'. Shalat-shalat ini disebutkan karena dipandang utama dan pokok yang perlu dijadikan wirid. Ia juga menganjurkan agar mengutamakan shalat yang telah ditentukan waktu dan raka'atnya.
b. Wirid berupa baca Al Qur'an. Membaca Al Qur'an adalah ibadah yang paling utama, bentuk taqarrub yang paling agung dan ketaatan yang paling mulia. Ia menganjurkan baca Al Qur'an sebagai wirid, sehari semalam minimal satu juz, atau tiga hari sekali khatam.
c. Wirid berupa ilmu bermanfaat. Maksudnya ialah ilmu yang bersumber dari Al Qur'an dan Al Sunnah. Karena ilmu yang disyarahkan dari keduanya lebih komprehensip, bermanfaat, shahih dan jelas.
d. Wirid berupa Zikir dan do'a. Dua wirid ini merupakan sarana taqarrub ilallah yang sangat penting dan utama. Seseorang tidak akan mencapai kedekatan dengan Allah, jika meninggalkan dua hal ini. Wirid yang terkenal dari Al Haddad adalah Ratib al Haddad.
e. Wirid berupa tafakkur. Ini dapat diartikan sebagai perenungan terhadap sesuatu berdasarkan pertimbangan akal dan hati nurani.
Pandangan Al Haddad Tentang Ittihad, Hulul, dan Wahdat Al Wujud
a) Konsep tentang Ittihad
Ittihad ini tidak lepas dari kondisi fana' dan baqa'. Sebab, ittihad terjadi setelah seorang sufi mengalami fana'dan baqa'. Yang mengalami ittihad bukanlah jasmaninya, tetapi hanya ruhnya, ruh manusia yang mi'raj, bukan ruh Tuhan yang tanazzul.
b) Konsep tentang Hulul
Teori ini muncul dari Al Hallaj. Baginya pada diri Tuhan ada nature nasut dan pada diri manusia ada nature lahut. Hulul terjadi kala nasut Tuhan turun dan mengambil tempat ke dalam diri sufi dan menyatu dengan lahutnya, setelah nasut seorang sufi mengalai peluruhan (fana').
c) Konsep tentang Wahdatul Wujud
Konsep tentang paham Wahdatul Wujud merupakan kelanjutan dan sekaligus perubahan istilah dari teori nasut dan lahut dalam paham hulul. Nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi al khalq, dan lahut diubah menjadi al haqq. Hanya saja dalam teori hulul, aspek nasut dan lahut terbatas pada diri manusia dan Tuhan, sedangkan dalam teori Wahdatul Wujud, kedua aspek al khalq dan al haqq itu ada pada semua makhluk dan Tuhan. Kemudian teori hulul masih terdapat dualitas (manusia dan Tuhan), maka dalam teori Wahdatul Wujud, dualitas itu tidak ada, kecuali dualitas nisbi dan yang ada adalah keesaan.
d) Pandangan Al Haddad
Al Haddad tampak tidak sependapat dengan paham Ittihad, Hulul dan Wahdatul Wujud yang dinilainya bisa membingungkan dan akan membawa kepada kezindiqan dan keilhadan. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ajaran Al Haddad tentang Al Jam', maka hal itu dapat dipahami secara ekstrem sebagai ungkapan yang mengarah kepada paham ittihad yang malu-malu. Sebab kondisi batin seorang sufi yang telah mencapai Al Wushul Ila Allah, ia telah karam bersama Tuhannya dan hilanglah semua yang ada, serta tidak ada khatr dan maujud yang tampak, kecuali Tuhan. Al Haddad mengatakan ketika terjadi fana' dan baqa', maka akan terjadi tajalli sifat-sifat Tuhan (Al Haqq) Yang Maha Agung dan Maha Perkasa dan hilanglah bentuk fisik kemanusiaan serta leburlah kabaqa'an alam.
Antara ittihad dan al jam' dilihat dari aspek kebahasaan memang berbeda. Sebab, dalam kata ittihad terjadi makna manunggaling kawula gusti, sementara kata al jam' mengandung makna seakan-akan tidak terdapat unsur manunggal. Tetapi dilihat dari substansinya; pengalaman psikologis sufi, antara ittihad dan al jam' adalah sama.
Seorang yang telah mencapai al jam', maka akan merasakan dua kenikmatan batin; perasaan dekat dan intim. Kondisi batin seperti ini memperkuat adanya kedekatan yang tak terpisahkan, yakni persatuan antara sufi dan Tuhan. Jika dibandingkan antara ittihad, hulul dan al jam', maka persatuan antara sufi dan Tuhan secara substansial dilihat dari kondisi psikologinya sama.
Selanjutnya mengenai pandangan Al Haddad terhadap syatahat adalah perkara yang sangat buruk yang hampir mendekati zindiq dan keluar dari agama. Namun di bagian lain ia menganggap ketika orang dalam keadaan fana' dan karam batin dan lahirnya, maka hukumnya sama dengan orang yang tidur atau semisalnya, yakni diangkatnya qalam sampai ia tersadar dan kembali mumayyiz.
Nampaknya di sini terjadi kontradiksi antara pedapatnya yang menilai syathahat sebagai perkara yang sangat buruk dan pendapatnya tentang hukum bagi orang yang dalam keadaan fana'. Sebab, syathahat itu diucapkan ketika seorag sufi dalam keadaan fana'. Dalam hal ini Al Haddad ingin membedakan antara sufi yang mengucapkan syathahat dan isi dari syathahat itu sendiri. Bagi sufi yang mengucapkan syathahat, karena ia dalam keadaan fana', maka ia dimaafkan. Tetapi ungkapan syathahat yang isinya mengarah kepada pengakuan sufi sebagai Tuhan, maka Al Haddad menolaknya, karena pengakuan itu bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal ungkapan itu bila dipahami sebagai ucapan Tuhan melalui mulut sufi, maka tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. Sebab yang berbicara ketika itu adalah Tuhan. Hal ini juga nampaknya sebagai sikap hati-hati Al Haddad kepada masyarakat awam agar tidak salah memahaminya. Untuk itu, ia lebih memilih kata al jam', al qurb, dan al uns (intim).

D. KARAKTERISTIK TASAWUF AL HADDAD DAN IMPLIKASINYA
Tasawuf dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam ajaran tasawuf Al Haddad tentang zuhud, ia membagi dunia yang terpuji dan yang tidak terpuji. Dunia yang terpuji ialah dunia yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dunia yang tidak terpuji atau tercela ialah dunia yang dapat menjauhkan diri denga Tuhan. Ia tidak menafikan kebutuhan manusia kepada sandang, pangan, papan dan keperluan lainnya dengan tidak berlebihan. Bahkan menyimpan harta dengan cara menabung tidak mengurangi kezuhudan dan ketakwaan seseorang. Ajaran ini menunjukkan adanya tanggung jawab sosial, khususnya bidang ekonomi.
Dalam ajaran ‘uzlah, yang tujuannya ialah menyelamatkan diri dari perbuatan buruk dan jahat. Al Haddad mensyaratkan bagi seorang yang ‘uzlah tidak meninggalkan shalat jum’at dan jama’ah, tidak melalaikan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah bagi dirinya dan keluarganya, dan tidak meninggalkan pergaulan dengan orang-orang baik dan mereka yang bermanfaat bagi agamanya. Adapun khalwah tujuannya ialah membersihkan jiwa, mengilaukan cermin hati, agar tersingkap hijab yang menghalangi antara ia dan Tuhannya, serta terputusnya hubungan ia dengan makhluk sehingga dalam dirinya tidak tersisa lagi perhatian kepada selain Allah. Ia mensyaratkan khalwah sama dengan ‘uzlah, hanya saja dalam khalwah diperlukan bimbingan dari seorang guru yang telah mencapai hakikat. Kecuali bagi seseorang yang memiliki bashirah yang cemerlang. Ajaran ini menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri.
Selain ajaran di atas, ajaran amar ma’ruf dan nahi munkar harus ditekankan. Kewajiban ini merupakan asas dan inti agama, karena perkembangan agama tergantung pada tegak dan tidaknya amar ma’ruf dan nahi munkar.
Tanggung jawab sosial yang lain dalam ajaran tasawuf Al Haddad ialah tentang jihad. Ini merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dalam tataran yang paling tinggi, utama dan mulia. Karena berkaitan erat dengan penegakan tauhid dan seruan kepada Islam. Ini harus dilakukan dengan keridlaan dan keikhlasan.
Dengan demikian ajaran tasawuf Al Haddad adalah ajaran yang seimbang antara kesucian rohani dan aktifitas kehidupan kemasyarakatan, yakni tidak lepas dari tanggung jawab sosial. Tidak melulu asyik masyuk dengan Tuhannya.
Al Haddad dan Tarekat
Untuk mengetahui tarekat Al Haddad, maka perlu dijelaskan dulu pengertian sufi kamil. Bagi Al Haddad sufi kamil adalah orang yang membersihkan amal, perkataan, niat dan akhlaknya dari riya’ dan dari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemurkaan Allah. Ia mendekatkan diri lahir dan batinnya kepada Allah serta taat kepadaNya. Ia juga berpaling dari sesuatu yang akan menghalangi kedekatannya dengan Allah seperti keluarga, harta, syahwat dan hawa nafsu. Semuanya itu harus dilandasi dengan ilmu yang bersumber dari Al Qur’an, Al Sunnah dan petunjuk al salaf al shalih.
Dari penjelasan itu, maka bisa diketahui bahwa ajaran tasawuf Al Haddad menekankan pada pembinaan akhlak dan kehidupan zuhud secara individual, tidak terlihat adanya tarekat dalam bentuk organisasi sufi. Tarekat Al Haddad adalah syari’at yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Sunnah dan amaliah al salaf al shalih. Jadi, jika seseorang menjalankan syari’at berarti ia telah menjalankan tarekat. Jadi, bukanlah seperti tarekat dalam artian organisasi sufi, tetapi sebuah jalan menuju Allah SWT.
Namun di bagian lain, Al Haddad juga memakai istilah-istilah yang biasa digunakan dalam tradisi tarekat dalam pengertian organisasi sufi, sehingga hal ini menjadi indikasi bahwa ajaran tasawuf Al Haddad boleh jadi bercorak thariqati. Istilah-istilah itu misalkan, murid dan syaikh. Seorang syaikh bertugas memperhatikan murid, memberikan apa yang paling tepat bagi murid dan membimbingnya secara lahir dan batin.
Istilah lain yang digunakan oleh Al Haddad, misalkan pemakaian khirqah dan pemberian ijazah. Pemakaian khirqah merupakan tradisi tarekat, di mana seorang murid ketika telah mencapai tingkat kesufiannya, ia dapat mengenakan pakaian khusus yang disebut khirqat al shufiyah. Namun, yang paling penting adalah sikap batin dan perilaku lahir yang mencerminkan ketaatan kepada Allah SWT.
Sedangkan pemberian ijazah bagi Al Haddad dapat ditujukan kepada siapa saja yang menghendakinya tanpa ada bai’at terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa tarekat yang dikembangkan Al Haddad adalah tarekat yang bebas dalam arti tidak mengarah kepada tarekat dalam bentuk organisasi yang ketat. Sebab, tarekat dalam bentuk organisasi, ijazah menjadi penting yang harus diterima oleh seorang murid dari syaikhnya. Demikian pula bai’at harus dilakukan seorang murid ketika masuk dunia tarekat praktis.
Istilah lainnya adalah silsilah, yaitu mata rantai sanad atau dari siapa ajaran tasawufnya itu diperoleh. Dalam tradisi tarekat, silsilah ini penting, karena selain sebagai penilaian terhadap keabsahan suatu ajaran, juga sebagai pengakuan dan penghormatan seorang murid kepada guru dengan tujuan memperoleh keberkahan atau karamah dari ilmu yang diterimanya.
Sebenarnya, kalau dicermati corak tasawuf yang dikembangkan Al Haddad adalah Akhlaqi. Sedangkan istilah-istilah yang digunakan hanyalah respon dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang kepadanya, sehingga jawabannya tampak terkondisikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan istilah-istilah dalam tarekat.
Corak Tasawuf Al Haddad
Al Haddad dilihat dari latar belakangnya, ia bermadzhab Ahlu al Sunnah wa al jama’ah. Di bidang aqidah, ia bermadzhab Asy’ariyah, di bidang fiqh ia bermadzhab syafi’I, dan di bidang tasawuf ia beraliran sunni. Tetapi dilihat dari kedalaman tasawufnya, ia dekat dengan falsafi.
Al Haddad ketika menghubungkan syari’at, hakikat dan ma’rifat dengan islam, iman dan ihsan, ia mengatakan bahwa syari’at ialah islam, yaitu tunduk kepada Allah; hakikat adalah iman dan yaqin, yaitu ikhlas; dan ma’rifat ialah ihsan yaitu sirna dengan Allah dan dalam Allah SWT.
Pandangannya tentang buah dari muraqabah, ia mengatakan bahwa orang yang telah mencapai muraqabah pada tingkat tertinggi, ia akan karam dengan Allah, sirna dari segala sesuatu selain Dia, hilang dari kesadaran makhkluk karena penyaksian Tuhan, dan bertemu pada kedudukan yang benar di sisi Tuhan.
Kemudian tentang fana’ dan baqa’, dia mengatakan bahwa fana’ itu terjadi pada kondisi tertentu dengan fana’ wujud, dan pada kondisi lain terjadi fana’ syuhud, tetapi kebanyakan terjadi secara bersamaan. Namun, hal ini terjadi dalam sifat, bukan dzat. Sebab, seseorang yang fana’ dari wujud pun, dia tetap baqa’ dalam wujudnya. Kemudian seseorang yang mengalami baqa’ akan karam dengan kefana’annya dengan Tuhannya, ketika itu ia tidak menyadari diri dan sesuatu apapun dari alam sekitarnya. Pada saat terjadi seperti itu, maka akan terjadi penampakan (tajalli) sifat-sifat Tuhan. Ketika kondisi seperti itu, maka hilanglah gambar kemanusiaan dan leburlah kebaqa’an alam. Selanjutnya, apabila dalam pengertian seperti ini sudah shah, maka akan tajalli Tuhan Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri dengan sifat-sifat keagunganNya yang lembut, lalu hiduplah ruh dan batin mereka sebagaimana dikehendaki oleh Allah Yang Maha Suci dalam penyaksian yang indah yang disebut dengan penggabungan (Al Jam’). Dalam pada itu ruh mereka akan merasakan kenikmatan kedekatan dan keintiman dengan Tuhan.
Kondisi di atas disebut al wushul ilallah. Puncak dari al wushul ilallah adalah al jam’. Seseorang yang telah mencapai al jam’ akan hilang kesadaran dirinya dan jenis lainnya, dan ia karam dengan Tuhannya serta hilang seluruh yang ada. Lalu tidak ada getaran hati (khatr) dan tidak ada pula wujud kecuali al haqq.
Pandangan-pandangan di atas, jelas menunjukkan kedekatannya dengan pandangan persatuan sufi dengan Tuhan. Jika dibandingkan dengan hulul, ittihad dan wahdatul wujud, maka ada indikasi kemiripan. Tetapi ia menghindari kata-kata itu, dan lebih memilih kata al jam’, al qurb, dan al uns, agar tidak menyesatkan masyarakat awam. Tetapi jika dilihat dari psikologi sang sufi, tampaknya tak ada beda.
Jadi, corak tasawuf Al Haddad adalah falsafi, atau sekurang-kurangnya mendekati falsafi.
Implikasi Ajaran Tasawuf Al Haddad
Dalam hal ini yang perlu dilihat adalah apakah ajarannya mengarah pada fatalisme atau tidak. Untuk itu pembahsannya akan dilihat dari dua sisi; penilaian terhadap ajaran yang terindikasi membawa paham fatalisme:
Zuhud: zuhud dari dunia dalam pandangan Al Haddad tidak berarti harus meninggalkan dunia sama sekali, dan tidak semua dunia dipandang rendah dan hina. Dunia yang mahmudah justeru dapat dijadikan sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah SWT. Jadi, zuhud semacam ini tidak membawa kepada fatalisme.
Sabar: sabar dalam pandangan Al Haddad adalah sikap tegar dan tabah mengendalikan hawa nafsu dengan tujuan melaksanakan ketaatan kepada Allah, baik melaksanakan perintahNya maupun menjauhi laranganNya, atau sabar menghadapai sesuatu yang tidak disenangi dan menghadapi syahwat. Jadi, sabar bukanlah bersifat pasif, tetapi justeru bersifat aktif dan dinamis, karena sikap tabah dan tegar dalam upaya melawan hawa nafsu yang mengarah kepada keburukan adalah suatu bentuk perjuangan. Jadi, sabar dalam ajaran Al Haddad tidak membawa kepada fatalisme.
Tawakkal: dalam pandangan Al Haddad bahwa dalam sikap tawakkal itu diperlukan usaha manusia berupa pekerjaan-pekerjaan duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, tidak akan mengurangi
Tawakkal dalam pandangan Al Haddad adalah dengan berserah diri sepenuhnya kepada Allah itu terbatas dalam konteks ketakinan, agar seseorang tidak tergoncang jiwanya ketika ia ditimpa bahaya, karena semuanya berada dalam genggamanNya, dan bukan dalam konteks perbuatan. Karena perbuatan seorang yang betawakkal tetap diharuskan mencari sebab-sebab duniawi an berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, ajaran tasawuf Al Haddad tidak menjadikan orang bersikap apatis.
Ridla: Yang paling penting dalam ridla adalah rasa senang dalam menerima ketentuan dari Allah. Pemaknaan ridla lebih ditekankan pada perasaan batin bukan dalam perbuatan. Itulah sebabnya do'a tidak mengurangi perasaan ridla. Jadi, sikap rilda dalam ajaran tasawuf Al Haddad tidak bersifat pasif, masih ada usaha dari manusia.
Kemudian, ajaran Al Haddad yang tertulis dalam kitab-kitab banyak dikaji di pesantren-pesantren dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, terutama diterbitkan oleh Mizan Bandung. Wiridnya yang terkenal dengan Ratib Al Haddad, juga banyak diamalkan di kalangan masyarakat.
Jadi, dilihat dari ajarannya tidak ada yang berimplikasi pada sikap dan paham fatalisme. Karena lebih menitik beratkan kepada ajaran akhlak dengan motivasi amal saleh. Sedangkan jika dilihat dari penyebarannya, maka ajarannya cukup meluas, dan berperan dalam pembentukan akhlak masyarakat Indonesia.
E. KESIMPULAN.
Corak tasawuf Al Haddad adalah falsafi, atau sekurang-kurangnya mendekati falsafi. Hal ini didasarkan pada kedalaman pandangannya.
Adapun dilihat dari ajarannya tidak ada yang berimplikasi pada sikap dan paham fatalisme.
Sedangkan dilihat dari penyebarannya, ajaran Al Haddad mempunyai kontribusi dalam pembentukan akhlak masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat luasnya penyebaran ajarannya yang diamalkan oleh masyarakat.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda