Orientalisme dan Kacamata Sa'id
Obituari Edward W. Said (1935-2003)
Orientalisme dan Kacamata Said
Oleh: BAMBANG Q. ANEES
SAAT kita mendapatkan sajian perburuan terorisme yang secara serampangan dikaitkan dengan aktivis masjid, Edward Said meninggal dunia. Kanker darah menghentikan perjuangannya, tepat pada 25 September 2003 kita kehilangan Edward Said, penulis buku Orientalisme yang terkenal.
Buku Orientalisme bagi saya pada awalnya adalah kumpulan dongeng. Tahun 1991 sewaktu masih di kelas II SMA, saya yang sedang keranjingan membaca buku dongeng menemukan buku Orientalisme di rak buku paman, yang dosen filsafat. Secara iseng saya membuka-buka halamannya dan menemukan dongeng The Devine Commedi-nya Dante. Konon ada seorang lelaki yang melakukan pengembaraan mencari cinta sampai harus melewati tiga dunia lain: Inferno (neraka penyiksaan bagi para pendosa besar), lalu menuju Purgatorio (tempat penyucian), dan terakhir sampai di lembah Paradiso (surga) tempat sang kekasih menunggu lelaki itu. Yang menarik dari cerita itu, bagi Said adalah deskripsi siapa saja yang dimasukkan ke dalam neraka.
Orang-orang berdosa, tentu saja, prioritas utama yang dimasukkan ke api penyiksaan itu. Said menuliskan bahwa Maometto (Muhammad) berada di neraka Bolgias of Malebolge, gugusan parit kelam yang mengelilingi tempat penyiksaan setan, bersama dengan Brutus, Judas, dan Cassius. Pada saat itu saya tak tahu benar siapa Brutus, Judas, dan Cassius, yang pasti saya tahu siapa Muhammad Rasulullah.
Muhammad dianggap Dante sebagai seorang seminator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan). Tentu saja saya merasa emosi dan langsung berkesimpulan bahwa kaum orientalis adalah orang-orang gila.
Beberapa tahun kemudian, ketika saya kuliah di IAIN, saya membaca lagi buku tersebut karena ada mata kuliah dengan nama Orientalisme juga. Pada halaman yang sama (88-89) saya menemukan kalimat, "Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan Shalahuddin termasuk kelompok orang-orang kafir yang baik, yang bersama-sama Hektor, Aeneas, Ibrahim, Sokrates, Plato, dan Aristoteles, ditempatkan pada gugus pertama Inferno untuk merasakan hukuman yang paling ringan (bahkan terhormat) karena tidak memperoleh manfaat dari wahyu Kristiani.
Tentu saja, Dante menghargai kesalehan dan prestasi mereka yang besar, tetapi karena mereka bukan orang-orang Kristen maka Dante harus memasukkan mereka ke dalam neraka, betapa pun ringan tingkatannya". Deskripsi ini membuat saya memahami kecenderungan pukul rata cara pandang orang Eropa terhadap suatu hal.
Apa pun yang berbeda dengan cara pandang mereka atau bahkan yang bukan mereka, dianggap bersalah. Timur adalah nama yang diberikan oleh mereka terhadap dunia "yang berbeda itu".
Segala yang berasal Timur dianggap bersalah bukan karena kesalahannya, namun karena ia berbeda dan bukan dari Barat. Timur berupaya dibisukan agar Barat menjadi bersuara. Logika benar-salah inilah yang menjadi dasar dari orientalisme, suatu pola pikir yang khas filsafat awal modern yang substansialis: harus hanya satu yang benar, selebihnya harus salah. Logika ini sebenarnya agak "memalukan", karena untuk menjadi benar mereka harus menyalahkan orang lain, suatu kebenaran dalam perbandingan. Lebih dari itu Said mengemukakan agenda tersembunyi dari cara penceritaan Timur oleh para orientalis. Orientalisme adalah ilmu dengan kepentingan untuk menguasai bangsa-bangsa di luar Barat, Orientalisme adalah kegiatan intelektual yang membantu kaum kolonialis Barat dalam menjajah dunia Timur.
Penceritaan Said ini tentu saja membuat saya terbawa arus untuk membenci kaum orientalis, tidak saja atas nama seorang Muslim namun juga atas nama mahasiswa yang berada di dunia Timur. Namun, pertemuan saya dengan bahan bacaan lain yang ditulis orientalis (pengkaji dunia Timur) seperti Annemarie Schimmel, Toshihiko Izutsu, terakhir Karen Amstrong memberikan kenyataan yang berbeda. Bahwa tidak semua orientalis memiliki agenda yang sama dengan Dante. Schimmel sanggup menampilkan kedalaman dunia tasawuf tanpa disertai agenda tersembunyi untuk menguasai atau menganggap rendah dunia Islam, begitupun dengan Izutsu dan Amstrong.
Fakta ini membuat saya harus mengubah cara penerimaan terhadap Orientalisme Edward Said. Terlebih ketika saya harus terus berhadapan dengan sejumlah rekan dosen yang terlalu fobia terhadap orientalis (atau apa pun yang berdekatan dengan orientalis), bahkan ada beberapa rekan dosen yang kerasukan cara pandang Dante; semua orientalis pasti salah bukan karena membuat kesalahan, namun karena ia seorang orientalis.
Tulisan Said pada akhirnya saya terima sebagai kacamata yang membuat saya lebih awas dalam mencermati kabar, analisis, deskripsi ilmiah, fiksi atau film tentang Timur dari pandangan "orang luar". Kacamata itu memberi kita pada kesadaran bahwa dalam banyak hal "kabar Barat" tentang "Timur" memiliki kecenderungan untuk menjadikan "Timur" sebagai "yang dilainkan" atau "dibisukan/ dihilangkan suaranya". Buku Orientalisme memberi kita peta tentang usaha sarjana Barat yang menuliskan Timur dan Barat dalam cara yang berbeda.
Yang "Timur" adalah suatu hakikat yang harus diteliti, dipahami, diungkapkan bahkan dibentuk oleh yang "Barat". Timur adalah misteri dan kebarbaran yang harus dibuat beradab, dengan cara menjadi Barat. Sementara itu, Barat adalah sumber peradaban, kebanaran utama, dan kedamaian yang berhak untuk diimani oleh semua umat manusia.
Yang Barat adalah kebenaran dan di dalam kebenaran semua ummat manusia harus tunduk patuh tanpa tanya. Bentuk kajian yang dilakukan terhadap Barat dan Timur pun berbeda, seperti dikemukakan Mohammed Arkoun, "Kajian tentang Barat dicirikan dengan penelitian yang teliti dan berhati-hati, atensi terhadap detail-detail yang saksama, pembedaan yang sangat cermat, dan pengembangan serta pembangunan teori", sedangkan pengkajian Timur dalam posisi sebaliknya."
Kacamata dari Said adalah pemberi keawasan pada segala bentuk wacana. Wacana memiliki kecenderungan untuk memihak, tidak netral. Wacana mengkonstruksi satu kebenaran tertentu dalam memandang realitas sebagai apa. Dalam dominasi wacana orientalisme Said bahkan menuliskan bahwa kita yang berada di dunia Timur kemudian "berperan serta dalam men-Timur-kan dirinya sendiri". Jadi, pada mulanya orientalisme mendedahkan bahwa kita bangsa ketiga yang rendah dan tak berpengatahuan, lalu pada giliran kemudian kita sendiri menguatkan stigma itu atau bahkan berjuang keras untuk tetap menamai dirinya sebagai Timur.
Said mungkin tampak emosional. Apalagi keturunan Palestina, juga aktivis politik di Dewan Nasional Palestina, yang sampai sekarang selalu kalah wacana dalam menentukan kemerdekaannya. Namun, Said berbeda dengan sejumlah rekan dosen saya yang fobi orientalis, menutup buku Orientalisme dengan argumen yang menarik, "Orientalisme telah gagal mengindentifikasikan dirinya dengan pengalaman manusia, gagal untuk melihatnya sebagai pengalaman manusia". Lebih jauh Said menulis bahwa buku Orientalisme ditulis sebagai "pengingat atas degradasi yang menyeleweng dari ilmu pengetahuan".
Dalam kutipan ini, Said mendasarkan prasangkanya terhadap oreintalis pada kemanusiaan, yaitu bahwa ilmu pengetahuan semestinya berpihak pada manusia saja, dan melepaskan kepentingan sempit kelompok agama, kultur tertentu apalagi kepentingan politik.
Said juga menyadari bahwa betapa susah mengemukakan pengetahuan tanpa terkait dengan kepentingan. "Tidak akan ada interpretasi, pemahaman, dan kemudian ilmu pengetahuan jika tidak ada minat dan kepentingan. Minat dan kepentingan itu dalam banyak kacamata kita ada baiknya jika mengarah pada common sense saja, yaitu suatu pemahaman yang tumbuh berkembang dari pengalaman manusia bukan didasarkan oleh kuasa suatu kelompok tertentu" (Covering Islam, hlm. 230). Pada saat proses pemahaman didasari oleh minat dan kepentingan selain common sense, segala pengetehuan menjadi bias.
Bahkan, bagi Said, pengetahuan sejenis itu selayaknya dipandang hanya sebagai suatu tafsir yang tak dapat dimutlakkan.
Edward Said, kini telah meninggalkan kita, namun kacamatanya masih dapat kita gunakan. Ada beberapa teman yang meragukan penggunaan kacamata Said di masa-masa sekarang ini. Namun, dalam buku Covering Islam (1987) Said, menunjukkan bahwa pola analisisnya masih dapat digunakan untuk membaca produksi wacana di zaman ini.
Buku yang menegaskan bahwa peliputan atau pemunculan Islam dalam berita, novel atau film berada dalam tegangan covering (meliput) dan covering up (menutupi). Islam dimunculkan dalam media, sambil serentak dibungkam. Saya pikir kuasa meliput dan menutupi ini dapat kita temukan dalam sejumlah pemberitaan mengenai aktivitas masyarakat Muslim di media.
**
EDWARD SAID, rest in peace! Engkau tentu tak akan memasuki dunia akhiratnya Dante dan karena itu engkau tak akan dituduh sebagai seminator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan) sehingga tak harus mendekam di Bolgias of Malebolge. Satu hal yang dapat saya ingat dari tulisan penutupmu di Covering Islam, "Setiap pemikir sebaiknya memilih di antara kemestian tunduk di hadapan nafsu kekuasaan, atau di hadapan kekuasaan kritik, kecaman, kupasan, komunitas, dialog, dan moral sense." Terima kasih atas kacamatanya.***
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda