PONDOK PESANTREN NGIJON PERTIWI

Sebuah Pondok Pesantren yang berkonsentrasi pada pendidikan al-Qur'an. Meliputi; Tahsin, Tahfidz dan Tafsir al-Qur'an. Dibina oleh para hafiz dan hafidzah.

Kamis, 14 Februari 2008

AL QUR’ÂN DALAM PANDANGAN ISLAMOLOG KONTEMPORER
Studi Kritis Terhadap Metodologi dan tesisi-Tesis John Wansbrough Dalam Studi al Qur’ân
Ringkasan Thesis karya Dadan Rusmana

BAB I.
PENDAHULUAN
John Wansbrough adalah salah satu Islamolog Barat Yahûdî kontemporer yang telah berusaha melakukan kajian sistematis terhadap al Qur’ân untuk mendapatkan gambaran komprehensif tentang Islâm awal (klasik). Ia mempunyai dua karya tulis dalam bidang al Qur’ân, yaitu: (1) Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, dan (2) The Sectarian Milieu: Content and Composition of Islâmic Salvation.
Didalam dua karya tersebut ia membuat beberapa tesis kontroversial dalam kajian asal-usul dan komposisi al Qur’ân, yaitu: (1) al Qur’ân terkodifikasikan dibawah tradisi Yudio-Kristiani, (2) al Qur’ân sekarang ini merupakan hasil konspirasi kaum muslim klasik (dua abad pertama), dan (3) Redaksi final al Qur’ân tidaklah ditetapkan secara definitif sebelum abad abad ke-3 H, oleh karena itu menurutnya kisah tentang mushaf utsmânî hanyalah fiktif belaka. Ia didalam melakukan kajiannya menggunakan metodologi analisis sastra dengan pendekatan obyektif. Oleh karenanya, menurut penulis, permasalahan yang kemudian muncul ialah: (1) Bagaimana paradigma berfikir John Wansbrough yang mendasari pemetaan metodologi dan tesisi-tesisnya dalam studi kritis al Qur’ân? (2) Bagaimana wacana yang melatar belakangi paradigma berfikir John Wansbrough?
Beberapa pustaka yang telah dikaji oleh penulis, baik dari pihak-pihak pendukung maupun yang melawan tesis-tesis John Wansbrough tampaknya belum dapat menjawab secara jelas dan lengkap tentang masalah-masalah diatas. Adapun didalam melakukan penelitian ini, penulis memakai metode Hermeneutik Psikologis-Historis, dengan data-data, primer berupa: karya-karya Wansbrough dan data skunder, yang meliputi: tradisi intelektual Islamologi Barat dalam studi al Qur’ân, wacana yang melatari lahirnya Qur’anic studies, metode-metode dan pendekatan-pendekatan para Islamolog sebelum dan yang semasa dengan Wansbrough, buku-buku yang dipergunakan Wansbrough serta komentar dan kritik dari Islamolog Barat yang semasa dan sesudah Wansbrough. Dalam penelitian ini, data akan diperoleh melalui telaah dokumen dan hermeneutik yang kemudian dianalisis dalam beberapa tahapan.

BAB II.
AL QUR’ÂN DALAM PANDANGAN ISLAMOGI BARAT

A. Wacana Islamologi Barat dan Problematikanya
Perlakuan para sarjana Barat sebelum abad ke-19 atas dunia Islam terperosok kedalam praduga keagamaan. Sedangkan pada abad ke -19 dan awal abad ke-20 banyak terjebak dalam praduga-praduga kultural dan intelektual. Keangkuhan-keangkuhan kultural dan intelektual inilah yang kemudian banyak digugat para sarjana muslim. Didalam pengambilan metodologi, para Islamolog banyak dipengaruhi oleh background, dan pre-metodologi yang muncul dalam bentuk bahasa dan budaya sebagai medium ekspresi pikiran dan perasaan.
Dengan demikian, tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab diantara mereka terdapat Islamolog yang jujur (fair minded orientalist), tanpa mengabaikan bias dan distorsi dari kalangan mereka yang tidak jujur. Kendati demikian menurut Arkoun: terdapat beberapa kelemahan Islamologi klasik: (1) Islamologi banyak bertolak dari prasangka kaku dan negatif terhadap Islâm ataupun menjadi alat aneksasi dan pengdekreditan dunia Islâm oleh Barat, (2) Islamologi Barat tradisional sering kali mendekati Islâm melalui karangan tertulis dari para pemikir yang dianggap besar dan “mewakili” dengan mengabaikan pengecualian-pengecualian, (3) Karya tulis para tokoh besar yang menjadi kunci para Islamolog untuk memahami Islâm banyak didekati dari sudut pandang interaksi antar “sejarah ide” atau “sejarah gagasan” tanpa pertimbangan apapun dalam relasi interaktif dengan realitas sosial, ekonomi, dll; (4) Para Islamolog secara prinsip berada diluar obyek penelitiannya dan menolak bertanggung jawab secara intelektual atas pokok bahasan mereka.

B. Al Qur’ân dalam Wacana Islamologi Barat
Studi al Qur’ân oleh para sarjana Barat dimulai sejak berkunjungnya Peter the Venerable (Biarawan Clunny) ke Toledo pada awal abad XII dan berhasil membuat Clunniac Corpus (naskah salinan dari gereja Cunny). Dalam hal ini ia membentuk suatu tim yang bertugas menghasilkan serangkaian karya yang menjadi dasar akademik intelektual dalam Islâm, yang salah satu hasilnya adalah diterjemahkannya al Qur’ân kedalam bahasa Latin oleh Robertus Retenensis dari Ketton Inggris pada juli 1143. kegiatan ini berkelanjutan, dengan menerjemahkan al Qur’ân dalam berbagai bahasa, terutama Inggris, dan Latin.
Kegiatan ini disusul beberapa pembahasa tentang al Qur’ân, diantaranya oleh Theodor Noldeke (Jerman), ia menerbitkan karyanya tentang asal-usul dan komposisi al Qur’ân pada 1856. kegiatan ini dilanjutkan oleh generasi setelahnya seperti Hubert Grimme menulis tentang komposisi dan kronologi al Qur’ân. Demikian juga dengan Hartwig Hiescfeld (London) pada tahun 1902 menerbitkan new researches Into the Composition an Exegesis of the Qoran.
Memasuki abad ke-20 karya-karya semacam itu semakin mudah ditemukan, namun yang bersifat umum dan cukup menonjol adalah Koranische Untersuchungen oleh Horavitz (berlin, 1926), begitu juga dengan Arthur Jeffery (Baroda, 1938), Foreign Vocabulary of The Qur’an, yang merupakan ringkasan karya-karya sebelumnya dan dibarengi dengan pemikiran-pemikirannya yang baru. Disamping itu, masih banyak lagi karya-karya bermutu dari kalangan mereka, berbicara tentang Islâm dan segala aspek yang ada didalamnya.

C. Peta Wacana al Qur’ân Islâmologi Barat Modern
Fazlur Rahman mencoba untuk memetakan literatur Barat modern dalam studi al Qur’ân, sejak kemunculan karya Gustave Flugel (1834) hingga paruh ketiga abad ke-20: (1) karya-karya yang berusaha mencari anteseden-anteseden Yudeo-Kristiani didalam al Qur’ân, (2) karya-karya yang mencoba untuk membuat rangkaian kronologis dari ayat-ayat al Qur’ân, dan (3) karya-karya yang bertujuan untuk menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek yang tertentu didalam ajaran al Qur’ân. Menurutnya, begitu juga dengan Montgomery, bahwa bagian pertamalah yang memperoleh perhatian paling luas. Padahal Barat sendiri mengakui bahwa seharusnya umat Islâm sendiri yang sebenarnya lebih berhak menyajikan al Qur’ân sebagaimana mestinya.
Namun Rahman mengakui bahwa para sarjana muslim dalam hal ini menghadapi beberapa kendala, diantaranya: (1) mereka kurang menghayati relevansi al Qur’ân untuk masa sekarang, dan oleh karena itu mereka tidak dapat menyajikan al Qur’ân untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praksis manusia masa kini, (2) mereka kuatir jika penyajian al Qur’ân didalam berbagai hal akan menimbulkan heresi (penyimpangan) dari pendapat-pendapat yang telah diterima secara tradisional.
Secara lebih khusus kajian para Islamolog, berkisar pada beberapa bidang sebagai berikut: (1) kajian originalitas dan komposisi al Qur’ân, seperti Abraham Geiger, Hartwig Hiercfeld, dan Richard Bell, (2) kajian kronologi al Qur’ân, seperti gustave Weil, Noldeke Scwally, dan Sir Willian Muir, (3) kajian tematik seputar al Qur’ân, seperti CC. Torey, H. Grimme, dan Thomas O’slaughnessy.

D. Metodologi-Pendekatan Islamolog Barat dalam Studi al Qur’ân
Menurut Arkoun, tradisi filologi merupakan tradisi umum yang dipergunakan Islamolog dalam studi al Qur’ân, terutama madzhab Jerman. Rahman menambahkan metode historis, fenomenologis, personalis dan sastra. Namun dalam hal ini, penulis membatasi pembahasannya pada pendekatan filologi (dan strukturalisme), historisme dan fenomenologi.

BAB III.
METODOLOGI DAN TESIS-TESIS JOHN WANSBROUGH DALAM STUDI AL QUR’ÂN
A. Eksposisi Wacana Intelektual John Wansbrough
Para sarjana Yahûdî berusaha keras untuk membuktikan bahwa asal-usul al Qur’ân itu berada didalam tradisi Yahûdî, dan Muhammad merupakan murid Yahûdî tertentu. Demikian juga para sarjana Kristen melakukan hal serupa untuk membuktikan bahwa al Qur’ân itu tak lebih dari gema tradisi Kristiani, dan Muhammad merupakan seorang Kristen yang mengajarkan suatu penyimpangan agama Kristen.
Oleh karenanya kajian-kajian keislaman banyak dilakukan oleh kedua pemeluk agama tersebut. Dari kalangan Yahûdî, beberapa karya kontemporer ditulis oleh Abraham Geiger, Hiercfeld, Katsch, dan Gerhardsson. Dalam situasi wacana yang kental dengan tradisi polemis “analisis obyektif” terhadap sumber-sumber al Qur’ân inilah John Wansbrough menulis karya-karyanya. Didalam tiga karya pertamanya (A Note on Arabic Rhetoric, Arabic Rhetoric and Qur’anic Exegesis, Majaz al Qur’an: Periphrastic Exegesis) ia menguji keoriginalitasan bahasa Arab klasik, melalui pendekatan sastra dan linguistik. Dan ketiga artikel tersebut menjadi dasar karya utuhnya Qur’anic Studies dan Sectrian Milieu. Yang mana, keduanya berusaha menampilkan sikap kritis terhadap sumber-sumber tentang orisinalitas Islâm klasik melalui pisau analisis sastra, serta menghindari doktrin teologi Islâm.
Dalam Qur’anic Studies ia berusaha menjelaskan asal-usul (sumber-sumber) dan komposisi al Qur’ân, usaha pengkodifikasian, dan tafsîr yang dilakukan oleh orang Islâm, serta prinsip-prinsip penafsirannya. Sedangkan didalam Sectarian Milieu, ia berusaha menggambarkan perkembangan evolusi tema-tema doktri Islâm melalui kajian biografi tradisional nabi Muhammad SAW, serta melalui kajian doktrin teologi kaum muslim sebagai komunitas sosial. Dua karya ini memunculkan banyak tanggapan, yang sebagian besar dalam bentuk resensi, seperti Van Ess, Ullendroff, Paret, dan Graham.

B. Paradigma Wansbrough dalam Studi Kritis al Qur’ân
Didalam memulai kajiannya, ia mengajukan beberapa pertanyaan historis-analisis: What is evidence? Do we have witnesses to the moslem accounts of the formation of their community in any early, disinterested sources? The Qur’an (In the form collected “between two covers” as we know it today) is a good axample: what evidence is the for the historical accurary of the traditional accounts the compilation of that book shortly after death of Muhammad?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengantarkannya untuk: (1) meragukan bahkan tidak mempercayai bukti-bukti tertulis dan tidak tertulis yang dimiliki oleh muslim dan Islamolog Barat mngenai sejarah Islâm klasik, terutama masa pewahyuan dan masa kodifikasi al Qur’ân. Hal ini dikarenakan tidak adanya bukti literal, yang mengidentifikasikan adanya tradisi penulisan al Qur’ân pada masa nabi. Disamping itu terdapat perbedaan versi dari para kolektor atau pencatat al Qur’ân dimasa nabi, dengan yang dibakukan oleh khalifah Utsmân. Ia juga meragukan kekuatan pentransmisian al Qur’ân dalam tradisi oral dan aural muslim Arab awal. (2) ia memandang bahwa satu-satunya bukti leteral yang valid dan akurat tentang Islâm hanyalah al Qur’ân. (3) ia mendudukkan proses kodifikasi al Qur’ân sama dengan proses kodifikasi Taurat atau Injîl, bahkan ia mengukur orisinalitas al Qur’ân dengan timbangan perjanjian lama dan baru.
Sikap apriori dan keraguan tersebut mendorong Wansbrough untuk memposisikan Islâm (terutama klasik), sebagai agama yang ahistoris dengan menekankan bahwa tidak ada dukungan berupa bukti ekstra-literer dalam hal data arkeologis yang tersedia bagi Islâm. Dengan demikian, menurutnya, pendekatan historisisme tidak dapat dipergunakan dalam menelusuri Islâm. Oleh karenanya tidak ada pilihan lain kecuali kajian lewat al Qur’ân dengan jalan analisis sastra dan prinsip-prinsip linguistik. Dan pendekatan yang ditawarkannya adalah pendekatan obyektif dengan menjadikan al Qur’ân sebagai fokus kajiannya tanpa harus mengaitkannya dengan pencipta ataupun pembacanya.
C. Akar-Akar Metodologi-Pendekatan Wansbrough dalam studi al Qur’ân
Sebagaimana dijelaskan bahwa Wansbrough menawarkan metode analisis sastra dan pendekatan obyektif dalam mengkaji al Qur’ân. Pendekatan obyektif dimaksudkan seabgai pendekatan yang memandang bahwa teks mempunyai otoritas mandiri yang tidak lagi berkaitan dengan pengarang dan pembacanya. Dengan demikian ia hanya melakukan kritik intrisik al Qur’ân. Metode tersebut berdiri diatas aliran filsafat struturalisme, terutama strukturalisme linguistik yang santer pada dekade tahun 1960-an dan tahun 1970-an di Cekoslawakia, Amerika, jerman, inggris, Rusia, dan Prancis.
Metode ini mengarahkan pengkajiannya pada studi struktur teks, termasuk studi bahasa dan sastra dengan pendekatan obyektif. Bagi kaum strukturalisme-linguistik, kitab suci tak ubahnya sebagai karya literatur yang hadir apa adanya dan satu-satunya jalan untuk memahaminya adalah dengan melakukan analisis struktur dan sistem tanda. Dan salah satu bentuk strukturalisme linguistik dalam mendekati kitab suci muncul dalam bentuk semiologi atau semiotika.
Wansbrough mencoba menerapkan tradisi kritis terhadap bibel (biblical criticsm) pada al Qur’ân, dengan mengambil prinsip-prinsip yang ada dalam koridor strukturalisme linguist (otonom) dan hermeneutika transendental. Ia skeptis terhadap kekuatan transmisi al Qur’ân dalam tradisi oral dan aural, karena tidak ada bukti ekstra literal. Bagi Wansbrough dan mereka yang sngaja ingin menyudutkan Islâm beranggapan bahwa jika posisi al Qur’ân berhasil digoyang, maka semua ajaran yang dibangun diatasnya pasti akan roboh.

D. Tesis-Tesis Utama John Wansbrough dalam studi al Qur’ân
Kajian yang dilakukan oleh Wansbrough berkisar pada tiga pokok pembahasan: (1) scriptural Canon “naskah al Qur’ân”; (2) prophetologi “kenabian Islâm”; (3) Secred language “bahasa agama”. Adapun tesis utama yang dihasilkannya seabagimana disebutkan dalam pendahuluan adalah: (1) al Qur’ân terkodifikasikan dibawah tradisi Yudio-Kristiani, (2) al Qur’ân sekarang ini merupakan hasil konspirasi kaum muslim klasik (dua abad pertama), dan (3) Redaksi final al Qur’ân tidaklah ditetapkan secara definitif sebelum abad abad ke-3 H, oleh karena itu menurutnya kisah tentang Mushaf utsmânî hanyalah fiktif belaka.
Pada poin pertama, dipicu oleh pertarungan wacana antara para sarjana Yahûdî dan Kristen tentang sumber al Qur’ân, dan melalui penelitian masing-masing mereka mengklaim bahwa al Qur’ân bersumberkan dari agama mereka. Diantara para sarjana Kristen yang berusaha keras membuktikan bahwa sumber al Qur’ân adalah doktrin agama mereka dantaranya: Richard Bell, dengan mengatakan bahwa ayat tentang penciptaan manusia dari tanah diambil dari Bibel, dll. Dalam tradisi perang wacana inilah, tesis-tesis Wansbrough muncul sebagai Counter Productive terhadap hegemoni karya-karya kesarjanaan Kristen. Dan ia banyak terpengaruh kecenderungan sarjana Barat Yahûdî sebelumnya yang berupaya membuktikan bahwa Muhammad SAW terpengaruh tradisi Yudeo-Kristiani. Menurutnya, al Qur’ân berupa penjejeran-penjejeran tradisi Yahûdî (dan dalam tahapan tertentu berisi pula tradisi Kristen) dengan berbagai revisi dan tambahan dari Muhammad dan kaum muslim awal.
Adapun tesisnya yang kedua, didasarkan pada beragamnya versi bacaan dalam al Qur’ân, juga banyaknya vesi atas suatu kisah. Oleh karenanya ia mnganggap bahwa mushaf yang ada sekarang ini tak lebih hanya merupakan penjejeran tradisi kaum muslim awal. Ia beranggapan bahwa pentransmisian dari generasi pertama kaum muslim kepada generasi kedua hingga akhir abad kedua Hijriyah dilakukan dalam tradisi oral dan aural yang bebas. Generasi pertama senantiasa berupaya menyempurnakan redaksi-redaksi al Qur’ân dengan mengadaptasi berbagai wacana yang ada dalam setiap perkembangan tradisi.
Sedangkan tesisinya yang ketiga (skeptisime terhadap Mushaf ‘Utsmânî), karena menurutnya penyalinan tersebut baik pada masa abu Bakar maupun Utsmân tidak terdapat bukti literal. Ia mencoba meneliti struktur al Qur’ân, terutama dalam kisah-kisah sejarah penyelamatan, dikarakterisasi oleh variasi bacaan dan variasi tradisi (riwayat) yang mengakibatkan adanya repetisi atau duplikasi. Hal ini menunjukkan bahwa redaksi final al Qur’ân bukanlah proyek yang dilaksanakan secara berhati-hati oleh seseorang, atau sekelompok orang, tetapi agaknya lebih merupakan akumulasi-adaptif dari perkembangan organik dari berbagai tradisi independen yang orisinal selama suatu periode transmisi yang panjang. Teori benar-benar baru dan orisinal, karena para sarjana Barat yang menggeluti sejarah naskah al Qur’ân, meskipun dengan kritik-kritik tertentu, pada umumnya menerima teori pengkodifikasian al Qur’ân dimasa ‘Utsmân.
Beberapa tesis asal-usul dan komposisi al Qur’ân diatas menjadi landasan Wansbrough dalam mengajukan prinsip-prinsip penafsiran al Qur’ân, yang berupa kerangka logis dalam bentuk linguistik dan sastra wacana al Qur’ân, yang antara lain: (a) al Qur’ân merupakan sebuah teks dan karya sastra, dan oleh karena itu, al Qur’ân harus dianalisis melalui metode analisis sastra dalam analisis bentuk dan redaksi, (b) al Qur’ân berisi penjejeran dari tradisi Yahûdî , Kristen, dan umat Islâm awal; oleh karena itu penafsiran ayat-ayat al Qur’ân harus diklasifikasikan berdasarkan tradisi-tradisi tersebut, (c) penafsiran al Qur’ân harus berangkat dari analisis struktur linguistik dan sastra dengan memperhitungkan antara aspek-aspek yang terkandung dalam teks al Qur’ân dan tipe-tipe penafsiran.

BAB IV.
REFLEKSI KRITIS ATAS METODOLOGI DAN TESIS-TESIS JOHN WANSBROUGH

A. Wansbrough diantara Pendukung dan Pengkritik
Diantara sarjana Barat yang memberi komentar atas karya Wansbrough adalah Issa J. boullata, setelah melakukan resensi ia menyatakan bahwa pemikiran Wansbrough hanya merupakan hipotesis-hipotesis yang belum dapat dipertanggung jawabkan secara Ilmiah. Ia mempertanyakan keabsahan metode yang digunakan dalam buku tersebut, demikian pula bahannya yang merupakan suatu seleksi dan eklektif. Disisi lain, Andrew Rippin dan Richard Martin banyak mendukung penerapan metodologi yang diterapkan Wansbrough. Dikalangan Islâm, Fazlur Rahman banyak melakukan kritik keras terhadap Wansbrough, ia menganggap kajian Wansbrough sebagai suatu masalah serius dan merupakan ancama hebat terhadap masa depan Islamologi (orientalisme) Barat dan prasangka dogmatik kaum muslim.

B. Eksklusifitas dan Eklektisisme Tradisional Wansbrough
Kajian yang dilakukan Wansbrough tidak dapat lepas dari prasangka-prasangka yang membawa pada kekakuan eksklusivisme, yang dalam hal ini Arkoun menyatakan bahwa Wansbrough tidak mampu melepaskan diri dari kungkungan logosentrisme, yakni kenyataan bahwa ia tidak dapat mengungkapkan diri dan tidak dapat berfikir kecuali melalui bahasa, tradisi bahasa dan wacana tertentu. Adapun prasangka-prasangka tersebut ialah prasangka dogmatik, Erosentrisme, Rasionalisme-Positivisme, Strukturalisme linguistik, dan hermeneutika transendentalis.
Dengan mewaspadai beberapa prasangka tersebut, maka wajar, jika terdapat keberatan-keberatan yang dilontarkan oleh para sarjana Barat dan muslim. Karena kajian Wansbrough terlihat sangat kental dengan tendensius subyektifitas. Disamping itu sikap eklektif dan keragu-raguannya. Sikap selektif dan eklektif ditunjukkannya ketika lebih mendahulukan karya-karya sarjana Yahûdî dari pada Kristen, dan ia juga mengambil tafsîr Muqâtil bin sulaimân dan al Farrâ’, padahal keduanya dimarginalkan bahkan tidak diakui oleh para mufassir dan kaum muslim.
Didalam menjelaskan hal-hal penting, ia sering menggunakan kata-kata yang meragukan “sepertinya, seakan-akan…”. Oleh karenanya banyak kalangan yang menyatakan bahwa karya Wansbrough baru merupakan studi asumtif atau paling tinggi baru hipotesis yang belum dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena disandarkan pada asumsi-asumsi yang meragukan.

C. Kritik terhadap Metodologi analisis Sastra Wansbrough
Pendekatan strukturalisme linguistik atau analisis obyektif terhadap al Qur’ân tidak akan mampu menangkap spirit dan nuansa ekspresi hermeneutis al Qur’ân. Hal ini dikarenakan, al Qur’ân--kitab suci dan karya-karya lainnya—bukan hanya sekedar alat atau medium logika struktural, keindahan, gramatikal, dan kefasihan, melainkan juga memiliki dimensi entitas ontologis-eksistensial, eskatologis, epistemologis, dan aksiologis-praksis yang mempertemukan dua arus gerak sentrifugal dan sentripetal. Bahkan Wansbrough sendiri mengakui bahwa, substansi linguistik al Qur’ân penuh dengan dunia simbolik atau dunia makna, metafor; dan bahasa iknografi, yang menurut analisis psiko-sosiolinguistik sangat efektif menghancurkan arogansi masyarakat jahiliyyah Arab kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi.
Salah satu kelemahan Islamolog barat, termasuk Wansbrough, dalam memahami fenomena al Qur’ân, Islâm, dan masyarakat muslim terletak pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia yang didasarkan pada paradigma antropologis abad pencerahan (Renaissance dan Aufklarung) yang melihat manusia dan proses peradaban berjalan linier dan simpel.
Disamping itu, pada sisi transendental dan tranhistoris, Wansbrough dan para kritikus barat banyak melakukan kesalahan fatal akibat dominasi bahasa ilmu dan budaya tulis-baca pada kultur Barat sekuler, sehingga teks kitab suci dianggapnya buku yang bisu tanpa daya. Menurut Rahman, metode Wansbrough sama sekali tidak memberi arti penting apapun kepada al Qur’ân. Lewat metode ini, Wansbrough memandang al Qur’ân sebagai omong kosong, tetapi lantas dia cuci tangan dari tanggung jawabnya menjelaskan dari mana omong kosong itu berasal usul.

D. Kritik terhadap usaha Penemuan Anteseden Yahûdî dalam al Qur’ân
Atas dasar kesamaan beberapa tema dalam al Qur’ân dengan Bibel, menurut Wansbrough mengindikasikan pengaruh kuat tradisi Yahûdî didalam kodifikasi al Qur’ân. Ia mengambil empat hal: balas jasa, tanda, pengasingan dan perjanjian. Dalam hal ini Rahman mempertanyakan mengapa hal itu yang dijadikan pijakan, mengapa bukan yang lain. Ia menyatakan pula bahwa Wansbrough telah terperosok kedalam pandangan-pandangan dan kesimpulan-kesimpulan yang jauh melampaui batas-batas yang dapat diterima akal sehat, ketika menyatakan bahwa al Qur’ân sepenuhnya merupakan manifestasi sektrian dari tradisi-tradisi Yahûdî (dan Kristiani). Padahal dijazirah Arab gagasan Yudeo-Kristiani tidak mendapat tanggapan sama sekali, dan mereka kehilangan posisi kunci dihadapan orang Arab, bahkan secara klan masuk pada konfederasi suku-suku Arab. Dan secara religius, mereka kurang dapat menyumbangkan pikiran-pikiran teologis religius.

Fuck Frankfurt menolak sama sekali agama Yahûdî dan Kristen menjadi basis al Qur’ân. Sebab agama Yahûdî menolak keberadaan Yesus dan Maryam, sedangkan al Qur’ân mengagungkannya. Sementara itu, agama Kristen mempertuhankan nabi Isa dan percaya pada penyalibannya, suatu doktrin yang sangat ditolak oleh al Qur’ân. Demikian pula Canon Sell menyatakan bahwa tidak mungkin Muhammad mencari dan meniru naskah Bibel. Karena Bibel (perjanjian lama) baru diterjemahkan kedalam bahasa Arab tahun 900 M. dan perjanjian baru diterjemahkan tahui 171 M, serta tidak ada bukti sejarah yang kuat menggambarkan bahwa nabi Muhammad menjadikan Bibel sebagai landasan al Qur’ân.

E. Kritik terhadap Tesis “komposisi al Qur’ân sebagai Perpaduan Berbagai Tradisi”
Menurut Rahman, Wansbrough sangat kurang memiliki data historis mengenai asal-usul, karakter, evaluasi, dan person-person yang terlibat dalam tradisi-tradisi tersebut (dalam al Qur’ân). Setiap pembaca harus mengetahui dimana al Qur’ân diturunkan, dan kepada siapa atau kelompok mana ayat-ayatnya disampaikan. Jadi, tesis Wansbrough yang dibangun berdasarkan duplikasi atau repetisi didalam al Qur’ân yang baginya mencerminkan penjejeran berbagai tradisi tidak layak diterima, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam urutan kronologisnya. Sejarah membuktikan bahwa himpunan dan akumulasi pengalaman kaum muslim dan tumbuh dalam sejarah kemudian dinamakan tradisi Islâm terbentuk dan diterangi al Qur’ân. Al Qur’ân muncul dalam relasi antara creator (Allah) dengan manusia.
Dari sisi motif pewahyuan, pada mulanya manusia adalah obyek kitab suci. Kitab suci diwahyukan tuhan untuk menyapa manusia yang mengajaknya kepada jalan keselamatan. Pada perjalanannya, ketika wahyu menjelma menjadi teks, maka kitab suci berubah menjadi obyek, sementara manusia berperan menjadi subyek. Disitu muncul obyektivikasi manusia terhadap kitab suci. Konsep kitab suci bersifat relasional eksistensi dan kesucian berkaitan dengan sikap manusia yang meresponnya. Selain itu, menurut Rahman Wansbrough tidak memahami dengan sempurna fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainya. Fenomena ini oleh al Qur’ân sendiri diakui dan dinamakan naskh. Untuk terjadinya substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan jika al Qur’ân hanyalah perpaduan yang serentak dari berbagai tradisi. Didalam hal ini mungkin ada penyesuaian-penyesuaian, tapi hampir tidak dapat dikatakan naskh.

F. Kritik terhadap Pemiktifan Mushhaf Utsmânî
Keorisinalitasan al Qur’ân telah teruji ketika dihadapkan pada kritik sejarah. Hal ini disebabkan oleh setidaknya lima faktor penyangganya yang amat kokoh terhadap eksistensi-ontologis al Qur’ân:
Pertama, ia dipelihara melalui tradisi lisan secara turun temurun dengan seleksi ketat terhadap tingkat otentisitas, validitas, dan accountability transmisi dan para transmiter. Dalam konteks sosial masyarakat Arab-muslim, tradisi oral pentransmisian al Qur’ân ini, secara antropologis, menjadi medium sentrifugal dan sentripetal untuk memelihara identitas bahasa dan memelihara kohesifitas masyarakat.
Kedua, bagi umat Islâm, salah satu penyangga tradisi yang paling kokoh adalah terdokumentasikannya wahyu Allah dalam bentuk tulisan yang mata rantai transmisinya secara historis-ilmiah diakui paling solid dan paling otentik ketimbang wahyu yang diterima para nabi sebelumnya. Dengan demikian, al Qur’ân terjaga rapi, sehingga terhindar dari manipulasi historis.
Ketiga, tidak munculnya kritik radikal terhadap al Qur’ân juga disebabkan oleh iklim intlektual dan emosi keagamaan yang tumbuh didunia Islâm yang tidak kondusif bagi upaya penghujatan skeptis terhadap al Qur’ân. Para ulama dan penguasa sering kali menggunakan respon kekuasaan, bukannya counter intelektual, terhadap pikiran-pikiran baru yang dianggap merongrong pemikiran keagamaan yag telah mapan.
Keempat, gaya bahasa, gramatika, dan berbagai reposisi al Qur’ân sangat adaptif akomodatif,bahkan mendorong berbagai interpretasi baru yang dianggap relevan dengan nalar modern, tanpa harus melakukan editing dan penelitian historis mengenai otentisitas serta konteks pewahuan al Qur’ân.
Kelima, adanya tradisi dan ritual keagamaan yang selalu memasukkan ayat-ayat al Qur’ân sebagai bacaan dan doa-doa. Namun demikian, al Qur’ân sering kali diposisikan sebagai fakta dan dokumentasi historis, maka al Qur’ân dapat dilihat sebagai produk dari sebuah wacana dalam tradisi oral dan aural.
Dengan demikian, tesis Wansbrough sama sekali tidak beralasan, apalagi pengakuannya tentang perbedaan transmisi antara sunni dan syi’ah, padahal kenyataan historis justru membuktikan hal sebaliknya; al Qur’ân kaum sunni dan syi’ah sama sekali tidak berbeda. Dengan demikian, tesis-tesis Wansbrough tersebut Ahistoris. Paling tidak, naskah final al Qur’ân telah eksis sebelum munculnya perpecahan dan aliran-aliran dalam Islâm.

G. Kritik terhadap Prinsip-Prinsip Eksegesis al Qur’ân
Wansbrough mempertahankan pendekatan obyektif yang bertumpu pada analisis bentuk-redaksional dan sastra al Qur’ân melalui aturan-aturan linguistik yang ketat dalam memetakan prinsip-prinsip eksegesis al Qur’ân. Padahal, menurut Arkoun, pendekatan obyektif hanya merupakan satu stase menuju pemaknaan artikulatif al Qur’ân. Baginya, wahyu al Qur’ân merupakan fenomena linguistik. Struktur sintaksis, semantik dan semiotika wacana al Qur’ân menyediakan suatu ruang yang demikian artikulatif untuk mengutarakan pemikiran dan isi wahyu.
Dalam hal ini, Arkoun mengajukan beberapa prinsip eksegesis: (1) al Qur’ân merupakan sejumlah pemaknaan potensial bagi seluruh umat manusia, sehingga dapat ditafsîrkan secara beraneka ragam, (2) pada tahap pemaknaannya yang potensial, al Qur’ân mengacu kepada agama Islâm (dalam arti ideal) yang transenden dan tranhistoris. Sedangkan pada tahap pemaknaan aktual (interpretasi) seperti tercermin dalam berbagai doktrin teologis, yuridis, politis dan sebagainya. Ia lalu menjadi mitologi dan ideologi yang diberikan makna transenden, (3) al Qur’ân adalah kurpus terbuka. Tidak satupun yang berhak mengklaim penafsiran yang dihasilkannya merupakan penafsiran yang paling benar, dan menutup kemungkinan dari pihak lain.
Bagi Rahman, penerapan pendekatan obyektif secara kaku tidaklah memberikan kontribusi yang berarti, ia menekankan pula untuk memahami kondisi aktual masyarakat pra Islâm dan masa nabi dalam rangka menginterpretasikan pernyataan-pernyataan legal dan sosio ekonomik al Qur’ân. Oleh karenanya, ia menawarkan beberapa langkah, sbb: (a) pendekatan historis untuk menemukan makna teks al Qur’ân dalam bentangan karir dan perjuangan nabi, (b) pembedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al Qur’ân, (c) pemahaman dan penetapan sasaran al Qur’ân dengan memperhatikan secara sepenuhnya latar belakang sosio-historis al Qur’ân.
Sedangkan menurut Hasan Hanafi, analisis linguistik merupakan mediasi sederhana untuk mencapai kritik eidetis, yang dilakukan melalui tiga tahap analisis, yaitu: analisis linguistik, analisis historis, dan generalisasi

BAB V.
PENUTUP
Kesimpulan:
Wansbrough bersikap skeptis terhadap Islâm dan cenderung menegasikan historisitas Islâm dengan menekankan bahwa tidak ada dukungan berupa bukti-bukti ekstra literer;
Metodologi pendekatan Wansbrough dalam studi al Qur’ân adalah metode analisis sastra, dalam bentuk kritik redaksi linguistik dan kritik bentuk (form). Metode tersebut berakar dari filsafat strkturalisme otonom dan hermeneutika transendental.
Wacana yang melatari intelektualisme Wansbrough telah membawanya kedalam kekakuan elektisisme dan eksklusivisme;
berdasarkan metode analisis sastra dan salvation history, Wansbrough berusaha membuktikan bahwa al Qur’ân terbentuk sepenuhnya terpengaruh tradisi Yahûdî , dan bukannya pengaruh Injîl;
Kritik atas tesis Wansbrough mengalir baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Islâm
Banyak kalangan, terutama F. Rahman menyatakan bahwa metodologi Wansbrough sangat lemah dan tidak memberikan arti apapun dalam studi al Qur’ân;
pengadopsian pemikiran Wansbrough dapat menimbulkan skeptisisne total terhadap al Qur’ân, yang dapat mengancam masa depan Islamologi barat modern dan keyakinan umat Islâm.
Saran-saran:
(1) Harap diperbanyak sumber-sumber kajian Islamologi barat, (2) studi al Qur’ân pada dimensi metodologis seperti wansbrough akan mengantarkan pada sikap terbuka, kepala dingin dan dialog konstruktif, (3) penelitian ini hanya pada aspek metodologis, dan masih banyak pemikiran Wansbrough yang belum dikaji. Sehingga penulis menyarankan, agar dilakukan penelitan lanjutan khususnya berkenaan dengan tema diatas.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda